Apakah Perdes Bisa Mengatur Hukuman Penjara? Analisis Hukum dan Dasar Peraturan Terkait
1. Latar Belakang Perdes dalam Sistem Hukum Indonesia
1.1. Otonomi Desa dan Peraturan Desa
Seiring dengan pemberian otonomi yang semakin luas kepada desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, setiap desa memiliki hak untuk mengatur urusan pemerintahan lokalnya. Perdes dikeluarkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Produk hukum ini menjadi kerangka pelaksanaan otonomi desa dan berfungsi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik serta pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.
1.2. Ruang Lingkup Perdes
Perdes mencakup materi-materi yang berkaitan dengan:
- Penyelenggaraan pemerintahan desa
- Pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
- Pengelolaan keuangan serta aset desa
- Aturan mengenai ketertiban dan keamanan lokal
Meskipun Perdes memberikan keleluasaan kepada desa untuk mengatur urusan lokal, ruang lingkupnya tetap harus sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah.
2. Fungsi dan Batasan Materi Perdes
2.1. Fungsi Utama Perdes
Fungsi utama Perdes adalah sebagai alat pelaksanaan otonomi desa. Dengan peraturan ini, desa dapat:
- Menyesuaikan kebijakan dengan kondisi lokal
- Mengoptimalkan potensi sumber daya yang dimiliki masyarakat desa
- Menyusun rencana pembangunan yang partisipatif
- Menetapkan tata tertib dan aturan-aturan internal yang mendukung kehidupan bermasyarakat
2.2. Batasan Materi Perdes
Meskipun Perdes memberikan ruang untuk pengaturan yang menyentuh berbagai aspek kehidupan desa, terdapat batasan materi yang harus diperhatikan. Salah satu hal penting yang harus dihindari dalam Perdes adalah pengaturan mengenai sanksi pidana, khususnya hukuman penjara. Hal ini karena:
-
Prinsip Hierarki Hukum
Dalam sistem hukum Indonesia, materi pidana, termasuk sanksi yang mengakibatkan hukuman penjara, hanya boleh diatur dalam Undang-Undang (UU) atau Peraturan Daerah (Perda) yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa norma pidana hanya boleh dimuat dalam UU dan Perda, bukan dalam peraturan turunan seperti Perdes. -
Asas No Punishment Without Representation (No Punis Without Representative)
Pengaturan sanksi pidana yang berkaitan langsung dengan pembatasan hak asasi manusia harus melalui proses legislasi yang melibatkan perwakilan rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, pembuatan norma pidana—termasuk hukuman penjara—tidak boleh diserahkan kepada instansi di tingkat desa.
3. Dasar Hukum yang Mengatur Materi Pidana
3.1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 12 Tahun 2011 menetapkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU tersebut, jenis peraturan perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPR
- Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Provinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 menegaskan bahwa materi ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
- Undang-Undang; dan
- Peraturan Daerah (Provinsi atau Kabupaten/Kota)
Karena Perdes merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah desa, secara hierarki Perdes tidak termasuk dalam kategori tersebut. Oleh karena itu, Perdes tidak boleh memuat norma-norma pidana seperti hukuman penjara.
3.2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
UU Desa mengatur secara komprehensif mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk peran dan kewenangan Kepala Desa. Pasal 69 UU Desa menyatakan bahwa Perdes harus ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD. Meskipun UU Desa memberikan kewenangan kepada Kepala Desa untuk menetapkan Perdes, isi Perdes harus senantiasa berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengaturan sanksi pidana, seperti hukuman penjara, yang merupakan bagian dari norma pidana, tidak boleh diatur dalam Perdes.
4. Mengapa Perdes Tidak Boleh Mengatur Hukuman Penjara?
4.1. Kewenangan Pembuatan Norma Pidana
Sanksi pidana, terutama hukuman penjara, merupakan bentuk sanksi yang sangat berat dan berdampak signifikan terhadap hak asasi manusia. Pengaturan mengenai norma pidana memerlukan proses legislatif yang komprehensif, partisipatif, dan melalui mekanisme perwakilan rakyat (DPR). Hal ini karena norma pidana menyangkut pembatasan dan penegakan hak asasi, serta memiliki konsekuensi hukum yang besar bagi individu. Karena itu, hanya lembaga legislatif yang memiliki legitimasi untuk mengatur hal tersebut, bukan pemerintah desa yang ruang lingkupnya terbatas pada pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di desa.
4.2. Asas Hierarki Hukum dan Legalitas
Dalam sistem hukum Indonesia, setiap peraturan yang dibuat harus mematuhi asas hierarki hukum. Perdes sebagai peraturan turunannya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika Perdes mengatur sanksi pidana seperti hukuman penjara, maka ketentuan tersebut akan bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 yang menetapkan bahwa norma pidana hanya boleh diatur dalam UU atau Perda. Dengan demikian, setiap ketentuan pidana dalam Perdes dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan berpotensi menimbulkan konflik hukum di kemudian hari.
4.3. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Pengaturan sanksi pidana sangat erat kaitannya dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Hukuman penjara merupakan bentuk pembatasan kebebasan yang sangat mendasar dan harus dijatuhkan berdasarkan prosedur hukum yang ketat serta dengan pertimbangan yang mendalam. Pengaturan tersebut harus melalui proses legislatif yang transparan dan melibatkan perwakilan rakyat agar dapat dipertanggungjawabkan secara demokratis. Dengan demikian, Perdes yang dikeluarkan oleh Kepala Desa tidak memiliki kapasitas untuk menetapkan norma yang menyangkut pembatasan kebebasan secara pidana.
5. Implikasi Praktis: Sanksi Administratif vs. Sanksi Pidana dalam Perdes
5.1. Sanksi Administratif dalam Perdes
Sebagai produk hukum yang mengatur tata kelola pemerintahan desa, Perdes umumnya memuat sanksi administratif. Sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau tindakan administratif lainnya yang bersifat korektif dan edukatif. Sanksi semacam ini diatur untuk memastikan bahwa aparatur desa menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan dan tidak menyimpang dari kewenangannya. Penerapan sanksi administratif membantu menjaga keteraturan dan disiplin di lingkungan desa tanpa melibatkan proses peradilan yang rumit.
5.2. Sanksi Pidana: Ruang Lingkup yang Terbatas
Sementara sanksi pidana merupakan bentuk penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum melalui proses peradilan. Pemberian sanksi pidana seperti hukuman penjara harus didasarkan pada ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Jika suatu pelanggaran di lingkungan desa termasuk tindak pidana, maka penegakan hukumnya harus dilakukan oleh lembaga negara seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan peradilan, bukan melalui Perdes. Dengan demikian, Perdes seharusnya tidak mengatur atau menetapkan hukuman pidana, melainkan hanya mengatur sanksi administratif.
5.3. Dampak Jika Perdes Mengatur Hukuman Pidana
Jika Perdes memuat ketentuan mengenai hukuman penjara, hal tersebut dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain:
- Konflik Hukum: Ketentuan Perdes yang mengatur hukuman penjara bisa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga menimbulkan konflik normatif.
- Pelanggaran Asas Legalitas: Norma pidana yang mengatur hukuman penjara harus didasarkan pada asas legalitas (nullum crimen sine lege, nullum poena sine lege) yang mengharuskan adanya kepastian hukum melalui proses legislasi di tingkat yang tepat.
- Pengalihan Wewenangan: Pengaturan sanksi pidana di Perdes dapat mengaburkan batas antara fungsi pemerintahan desa dan penegakan hukum oleh aparat peradilan, sehingga terjadi pengalihan kewenangan yang seharusnya tidak terjadi.
6. Studi Kasus dan Pendapat Ahli
6.1. Studi Kasus dari Hukumonline
Dalam salah satu artikel di Hukumonline, disebutkan bahwa pengaturan sanksi pidana tidak boleh dituangkan dalam aturan turunan seperti Perdes, melainkan hanya pada tingkat Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Menurut pendapat para ahli hukum, norma-norma pidana, termasuk hukuman penjara, harus melalui proses legislasi yang melibatkan DPR sebagai representasi rakyat, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
6.2. Pendapat Akademisi dan Praktisi
Para akademisi hukum, seperti dosen hukum tata negara, berpendapat bahwa Perdes seharusnya tidak memuat norma pidana. Dalam konteks ini, sanksi terhadap pelanggaran di lingkungan desa sebaiknya berupa sanksi administratif, sedangkan sanksi pidana harus diatur oleh UU atau Perda. Hal ini juga didasarkan pada asas “no punishment without representation” di mana norma pidana hanya dapat ditetapkan melalui proses legislasi yang melibatkan perwakilan rakyat.
Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa apabila suatu pelanggaran yang bersifat pidana terjadi di desa, penegakan hukumnya harus melalui jalur peradilan nasional, bukan melalui peraturan turunannya di tingkat desa.
7. Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
7.1. Implikasi Kebijakan bagi Pemerintahan Desa
Bagi pemerintah desa, sangat penting untuk memahami batasan kewenangan dalam penyusunan Perdes. Perdes harus fokus pada pengaturan tata kelola, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa tanpa menyentuh ranah norma pidana yang seharusnya diatur pada tingkat yang lebih tinggi. Hal ini tidak hanya menjaga keselarasan peraturan antar tingkatan pemerintahan, tetapi juga menghindari konflik hukum yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan desa.
7.2. Rekomendasi untuk Penyusun Perdes
Berdasarkan analisis hukum di atas, berikut beberapa rekomendasi untuk penyusunan Perdes:
- Fokus pada Aspek Administratif: Pastikan Perdes hanya memuat ketentuan sanksi administratif, seperti teguran lisan atau tertulis, dan mekanisme korektif bagi aparatur desa.
- Konsultasi dengan Lembaga Hukum: Libatkan ahli hukum atau konsultan hukum dalam proses penyusunan Perdes untuk memastikan tidak ada muatan materi pidana yang melanggar hierarki peraturan perundang-undangan.
- Sosialisasi dan Edukasi: Lakukan sosialisasi mengenai batasan kewenangan dalam penyusunan Perdes kepada aparat desa dan masyarakat, agar semua pihak memahami bahwa norma pidana harus diatur oleh legislatif di tingkat yang lebih tinggi.
- Penyelarasan dengan Peraturan Daerah: Pastikan isi Perdes selaras dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) yang berlaku di wilayah setempat.
- Pengawasan Internal dan Eksternal: Bentuk mekanisme pengawasan baik internal (melalui BPD dan musyawarah desa) maupun eksternal (dengan melibatkan aparat penegak hukum) untuk memastikan implementasi Perdes berjalan sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku.
8. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa Perdes tidak boleh mengatur hukuman penjara. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan utama:
- Hierarki Hukum: Norma pidana, termasuk hukuman penjara, hanya boleh diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 secara eksplisit menyatakan bahwa materi pidana tidak boleh dimuat dalam peraturan turunannya seperti Perdes.
- Asas Representasi dan Legalitas: Pengaturan sanksi pidana harus melalui proses legislatif yang melibatkan perwakilan rakyat (DPR) untuk menjamin asas legalitas dan perlindungan hak asasi manusia.
- Pembagian Wewenangan: Pemerintah desa memiliki kewenangan terbatas untuk mengatur urusan internal dan tata kelola desa. Penegakan hukum pidana adalah wewenang aparat penegak hukum yang harus dilakukan melalui proses peradilan nasional.
- Fokus pada Sanksi Administratif: Perdes sebaiknya hanya memuat ketentuan sanksi administratif yang bersifat korektif dan edukatif, guna menjaga keteraturan dan disiplin dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Dengan demikian, upaya pengaturan mengenai tindak pidana di lingkungan desa harus diserahkan kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sementara Perdes fokus pada aspek tata kelola dan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Post a Comment for "Apakah Perdes Bisa Mengatur Hukuman Penjara? Analisis Hukum dan Dasar Peraturan Terkait"